Menanti Gagasan Konkret di Tengah Riuhnya Konstelasi Politik Kalimantan Tengah

[dropcap]D[/dropcap]inamika politik Kalimantan Tengah kian memanas menjelang pendaftaran calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berbagai nama dan koalisi bermunculan, menciptakan konstelasi politik yang kompleks dan menarik untuk dicermati. Namun, di balik hiruk-pikuk manuver politik ini, terdapat kekosongan yang mengkhawatirkan: absennya diskusi substansial mengenai gagasan dan program konkret untuk memajukan daerah.

Beberapa perkembangan politik terkini di Kalteng layak dicatat. Koalisi Demokrat-PDIP yang diwakili oleh Nadalsyah dan Sigit K Yunianto, lompatan mengejutkan Agustiar Sabran dari PDIP ke Gerindra, serta terbitnya SP3 KPK untuk Supian Hadi yang berdekatan dengan momentum Pilkada, merupakan contoh dinamika yang mewarnai panggung politik lokal. Manuver-manuver ini, meski menarik perhatian publik, sayangnya belum diimbangi dengan paparan visi dan misi yang jelas dari para calon pemimpin.

Fenomena ini sejalan dengan teori agenda-setting yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972), di mana media dan elit politik cenderung mengarahkan perhatian publik pada isu-isu tertentu, dalam hal ini perebutan kekuasaan dan drama politik, alih-alih substansi kebijakan. Akibatnya, wacana publik didominasi oleh narasi-narasi primordial seperti kesukuan dan agama, bukannya diskusi mendalam tentang solusi atas permasalahan daerah.

Kondisi ini juga mencerminkan konsep “symbolic politics” yang diajukan oleh Murray Edelman (1985), di mana politisi lebih fokus pada manipulasi simbol dan sentimen publik daripada menghadirkan kebijakan substantif. Akibatnya, isu-isu krusial seperti penyelesaian konflik agraria, konservasi lingkungan, peningkatan ekonomi masyarakat, dan kemajuan pendidikan tenggelam di bawah permukaan retorika politik yang dangkal.

Mengutip pemikiran Robert Dahl dalam teori demokrasi pluralisnya, masyarakat seharusnya memiliki akses terhadap informasi alternatif dan berkesempatan untuk membentuk preferensi politik berdasarkan pertimbangan rasional. Namun, situasi saat ini justru menjauhkan publik dari diskusi substansial tentang masa depan Kalteng.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai masyarakat mengambil peran aktif dalam mendorong wacana politik yang lebih berkualitas. Kita perlu menuntut para calon pemimpin untuk memaparkan visi, misi, dan program kerja konkret yang menjawab permasalahan nyata di Kalteng. Aspirasi masyarakat adat, strategi penyelesaian konflik agraria, rencana konservasi lingkungan, serta inovasi di bidang pendidikan dan ekonomi harus menjadi fokus utama dalam kampanye politik.

Mengadopsi pendekatan “deliberative democracy” yang digagas oleh Jürgen Habermas, kita perlu menciptakan ruang publik yang memungkinkan terjadinya dialog terbuka dan kritis antara masyarakat dan para calon pemimpin. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga momentum untuk merumuskan arah pembangunan Kalteng yang lebih baik.

Pada akhirnya, kualitas demokrasi di Kalteng akan ditentukan oleh kemampuan kita bersama dalam mendorong diskursus politik yang substantif dan berorientasi pada solusi. Mari kita tinggalkan politik identitas yang sempit dan beralih pada politik gagasan yang mencerahkan. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa hasil Pilkada nantinya akan membawa Kalimantan Tengah menuju kemajuan dan kesejahteraan yang nyata, bukan sekadar pergantian figur tanpa perubahan berarti.

Berita Terkait

0
Krismes Santo Haloho
0
Dua Pria Tentang Cinta dan Rindu
0
Isu Lingkungan
Tutup