TABALIEN.com – Penelitian terkini menunjukkan peningkatan kasus kohabitasi atau “kumpul kebo” di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas non-Musli. Fenomena ini terjadi meski bertentangan dengan norma hukum dan agama yang berlaku.

Yulinda Nurul Aini, peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa di Manado, Sulawesi Utara, 0,6 persen penduduknya melakukan kohabitasi. “Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun,” jelasnya, Sabtu (26/10/2024).

Tiga faktor utama yang mendorong pasangan memilih kohabitasi adalah beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial. Menurut studi The Untold Story of Cohabitation (2021), praktik ini lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur.

Dampak negatif terbesar dari praktik ini dialami oleh perempuan dan anak. “Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.

Data PK21 menunjukkan 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, dengan 0,26 persen mengalami KDRT. Anak-anak yang lahir dari hubungan ini juga berisiko mengalami gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan mental akibat stigma sosial. (Mth)