“Paying for Something that You Ever Did Victim of the Time Gone By”
Potongan kalimat itu saya temui pada sebuah buku kumpulan karya sastra pada tahun 2000-an. Entah kenapa, kalimat yang “melanggar” aturan tata bahasa konvensional itu lekat di kepala saya. Sayangnya, saya tidak memahami makna kalimat itu dengan lebih mendalam.
Tahun demi tahun berlalu, sampailah pada fase hidup yang membuat saya mengerti apa yang melatarbelakangi kalimat itu ditulis di kepala sebuah puisi. Ada pesan kuat yang hendak disampaikan agar bisa dimaknai secara relevan bagi banyak orang.
Saya akan memulai dengan mengutip sebuah tweet Sujiwo Tejo: “Tawa dan tangis tertakar seimbang, karena itu tisu selalu bermanfaat.” Pesannya kurang lebih sama, di mana di dalam hidup setiap orang, alam semesta akan selalu berlaku adil. Hari ini ada kebahagiaan, besok ada tangis, dan begitu sebaliknya. Jika Anda melukai, maka suatu hari mungkin ada yang akan melukai Anda.
Pesan itu juga yang hendak disampaikan oleh pengarang puisi yang saya kutip, namun saya lupa judul dan nama penulisnya. Kita akan berhadapan dengan luka, kesakitan, tangis, kesedihan, dan sebaliknya dalam perjalanan kehidupan.
Saya tidak akan menceritakan pengalaman saya, tetapi pukulan dari peristiwa yang telah saya alami membuat saya sadar bahwa dalam ketahuan kita terdapat ketidaktahuan. Mari kita lewatkan bagian ini dan kembali pada garis awal tentang kalimat tersebut.
Pada akhirnya, yang terpenting dan terkuat dari seseorang adalah keikhlasan menerima segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi. Menerima dan berdamai dengan fase keadaan serta yakin bahwa alam semesta memiliki takaran yang adil.
Di Islam—koreksi jika saya salah—dikenal istilah Ikhlas khawas al-khawas, atau fase tertinggi menerima situasi riil kehidupan. Meyakini kepada Allah dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya.
Di dalam Kristen juga dikenal konsep Agape, istilah Yunani yang berarti cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, atau cinta tanpa batas, atau cinta tanpa syarat.
Kesamaan filosofisnya yaitu tentang penerimaan. Agape mengajak manusia untuk menerima segala peristiwa dalam hidup tanpa prasangka dan memandang penderitaan dan kebahagiaan sebagai bagian integral dari pengalaman hidup.
Ada kesatuan makna abstrak dari kutipan dan konsep itu, yang saya terjemahkan yaitu mentransformasi luka menjadi pengampunan.
Di mana—jika Anda meyakini ada kekuatan yang besar di alam semesta—maka jiwa kita mesti mampu melampaui rasa sakit, memaafkan diri sendiri dan orang lain serta menerima realitas kehidupan dengan lapang dada.
Di mana akhir dari semua itu adalah keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan. Kesediaan menerima baik dan buruk sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Kita mesti mengakui kesalahan masa lalu dan membayar “lunas” secara ikhlas luka yang pernah ditimbulkan dan memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.
Kesamaan yang utuh dari semua itu adalah filosofi praktis tentang bagaimana manusia seharusnya menyikapi kehidupan: dengan cinta tanpa syarat, penerimaan total, dan kesadaran akan keseimbangan semesta.


