Cinta di Era Modern: Sebuah Diskusi
PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Lampu temaram kedai kopi itu menyorotkan bayangan samar dua sosok yang duduk berdampingan. Aroma kopi ponti yang mengepul dari cangkir keramik putih di hadapan, membelai udara malam yang dingin. Suara denting sendok yang sesekali beradu dengan bibir cangkir keramik, menjadi irama latar obrolan kami.
Dua orang itu adalah aku dan seorang kawan, terjebak dalam diskusi yang tak terduga tentang cinta dan rindu. Kursi plastik yang kami duduki, acap kali berderit pelan setiap kali salah satu dari kami bergeser, seolah ikut mendengarkan percakapan yang semakin dalam.
Dengan gestur tangan yang tenang namun penuh makna, kawan itu berbicara dengan nada seorang akademisi. Matanya yang tajam sesekali menatap jauh, seakan mencari kata-kata yang tepat dari rak-rak buku imajiner di benaknya.
“Cinta,” ujarnya, “tidak selalu harus bermuara pada pernikahan.” Kalimatnya terdengar tegas namun lembut, mencerminkan keyakinan yang terbentuk dari tahun-tahun penelitian dan kontemplasi dari masa lalunya.
Di sampingnya, aku mendengarkan dengan seksama. Matanya menerawang, menggali kenangan-kenangan yang tersimpan rapi di sudut hatinya. Ketika ia berbicara, suaranya sedikit bergetar, “Bagiku, cinta adalah…” ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, “…sebuah perjalanan yang tak selalu berakhir bahagia, namun selalu mengajarkan sesuatu.”






