Vonis Korupsi KONI Kotim Disorot, Kejati dan Kuasa Hukum Sama-sama Ajukan Banding
PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Ahyar dan Bani Purwoko, terdakwa kasus korupsi dana Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kotawaringin Timur (Kotim). Namun, putusan ini memicu kritik tajam dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah (Kejati Kalteng) dan tim kuasa hukum terdakwa, yang sama-sama memutuskan untuk mengajukan banding.
Kajati Kalteng, Undang Mugopal, menilai hukuman yang dijatuhkan majelis hakim jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dalam konferensi pers di Aula Kejati Kalteng, Selasa (24/12/2024), Undang menegaskan bahwa pihaknya telah memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk segera mengajukan banding. “Kami berharap proses banding dapat menghasilkan putusan yang lebih adil, sesuai fakta hukum,” ujar Undang.
JPU sebelumnya menuntut masing-masing terdakwa dengan hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan penjara. Selain itu, Ahyar diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp10,38 miliar untuk disetorkan ke kas negara. Namun, majelis hakim memutuskan kerugian negara hanya sebesar Rp800 juta, jauh lebih rendah dibandingkan penghitungan auditor Kejati yang menyebut angka Rp10 miliar. “Hakim memiliki pandangan berbeda, meskipun berdasarkan data auditor dan ahli kerugian mencapai Rp10 miliar lebih,” kata Undang.
Di sisi lain, kuasa hukum terdakwa, Pua Hardinata, juga menyatakan akan mengajukan banding. Ia menilai ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang berujung pada putusan ini. “Kami menemukan aspek krusial, terutama dalam pembuktian kerugian negara, yang tidak sesuai prinsip keadilan,” tegas Pua dalam rilis persnya, Senin (30/12/2024).
Pua mengkritik laporan hasil pemeriksaan (LHP) auditor Kejati yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara. Ia mempertanyakan kredibilitas auditor yang disebutnya tidak memiliki sertifikasi resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kami mempertanyakan mengapa audit tidak dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti BPK atau BPKP. Harus ada kejelasan hukum mengenai hal ini,” ujar Pua.
Lebih lanjut, Pua mempersoalkan absennya tim auditor dalam persidangan untuk memberikan kesaksian sebagai ahli. Ia menyebut LHP tersebut dinilai janggal oleh dua ahli lainnya, yaitu Alfian, ST, MT, CprA dari Inspektorat Provinsi Kalteng, dan Tukima, SE, MM dari Kanwil Dirjen Perbendaharaan Negara Perwakilan Kalteng. “Tim auditor Kejati hanya memiliki kapasitas sebagai tenaga fungsional internal, bukan auditor yang berwenang sesuai standar peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.
Dengan pengajuan banding dari kedua belah pihak, kasus ini dipastikan akan kembali bergulir di pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Perdebatan terkait keabsahan audit dan pembuktian kerugian negara menjadi isu sentral yang akan diuji lebih lanjut. (Mth)