Kegelisahan Itu Nyata. Akurasi Kompas Swarapena

Paulus Alfons Yance Dhanarto, Dosen Ilmu Sosiologi FISIP Universitas Palangka Raya memberikan orasi kepada Komunitas Menulis Borneo Swarapena, Rabu (1/1/2025).

PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Di tengah gemerlap lampu Pasar Datah Manuah yang mulai meredup di penghujung hari, sekelompok pegiat literasi berkumpul dengan semangat baru. Komunitas Menulis Borneo Swarapena menggelar diskusi bertema “Akurasi Kompas Komunitas” di Kedai Nambal Sama-Sama, Rabu (1/1/2025) malam, menandai langkah awal mereka di tahun 2025.

Pertemuan yang menghadirkan akademisi, aktivis, jurnalis, hingga mahasiswa ini bukan sekadar ajang silaturahmi. Mereka berkumpul dengan satu visi: memperkuat budaya literasi di Kalimantan Tengah, khususnya Kota Palangka Raya.

“Kegelisahan itu ada, nyata dan terasa,” ungkap Paulus Alfons Yance Dhanarto, Dosen Ilmu Sosiologi FISIP Universitas Palangka Raya, dalam orasinya du diskusi dengan nada yang dalam.

“Swarapena mestinya menjadi oase dimana bunga-bunga itu bisa mekar bersama, dan bisa bersaing suara, seperti simfoni yang terdiri dari warna-warna berbeda namun menciptakan sebuah lagu yang indah.”

Dhanar menekankan pentingnya kebebasan berpikir dalam komunitas.

“Kita manusia-manusia merdeka. Ide itu yang harus ada dan dibangun di ruang Swarapena ini. Jangan lupakan ruang imajinasi itu menjadi penting di ruang hidup kita,” tambahnya.

Fandy, Direktur Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI), membawa diskusi ke arah yang lebih kritis. Dengan tegas ia menyoroti kondisi pendidikan saat ini.

“Di dunia pendidikan, mental-mental sebagai orang terjajah itu masih hidup. Kita lupa sebagai seorang yang punya kesadaran bagaimana kemudian memerdekakan setiap orang sebagai manusia utuh,” ujarnya.

Kehadiran perempuan dalam komunitas juga mendapat sorotan khusus. Dosen Ilmu Sosiologi FISIP UPR Yuliana mengungkapkan kebanggaannya melihat kesetaraan yang terbangun dalam komunitas.

“Ketika semua suara, termasuk suara kaum perempuan, memiliki wadah yang sama, ini menunjukkan keadilan gender telah diterapkan secara nyata,” jelasnya.

Semangat kaum muda turut mewarnai diskusi malam itu. Dida Pramida, mahasiswa FISIP UPR, membagikan harapannya.

“Komunitas ini kedepannya harus bisa membuat karya-karya yang dapat menjadi penyeimbang dan membangun pemikiran kritis serta kebebasan berekspresi,” ucapnya penuh semangat.

Roni Sahala, jurnalis di Palangka Raya, menyentuh inti dari pertemuan tersebut.

“Literasi adalah kebudayaan, kita punya kekurangan saat ini dalam budaya itu, maka mari dengan ruang dan media ini, kita perkuat kembali budaya kita menulis,” ajaknya.

Malam yang penuh makna itu diisi dengan sentuhan seni. Naela Nazwa, siswa SMKN 2 Palangka Raya, dan Amien Nurdin dari Aksi Kamisan, membacakan puisi-puisi yang menggetarkan, mengingatkan hadirin akan kekuatan kata-kata dalam menggerakkan perubahan.