Utang Jadi Jerat: Kapan Janji yang Gagal Menjadi Dosa Pidana? Yuk Simak Penjelasan Berikut

Advokat Edi Rosandi

Palangka Raya, Tabalien.com – Banyak yang meminjam dengan niat baik, tapi gagal membayar karena keadaan. Tak sedikit pula yang meminjam dengan niat jahat sejak awal. Di tengah garis tipis antara janji dan tipu daya, masyarakat kerap bertanya: bisakah seseorang dipenjara hanya karena tidak membayar utang?

Utang piutang adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Berbagai latar belakang dan kebutuhan menjadikan praktik pinjam-meminjam—baik uang maupun barang—sebuah aktivitas yang lumrah. Namun, ketika janji pengembalian tak ditepati, benih konflik pun tumbuh, sering kali berujung di kantor polisi.

Secara hukum, hubungan utang piutang berada dalam ranah perdata. Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur praktik ini sebagai bentuk perjanjian pinjam meminjam, yang menciptakan hak dan kewajiban di antara para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 dan 1313 KUH Perdata.

Masalah muncul saat utang tak dibayar. Banyak orang yang merasa dirugikan langsung menempuh jalur pidana. Mereka berharap dengan melaporkan ke polisi, proses penyelesaian akan lebih cepat dan memberi efek jera. Namun, hukum tak sesederhana itu.

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dipenjara hanya karena ketidakmampuan membayar utang. Artinya, selama tidak ada unsur pidana, kasus utang piutang murni berada di bawah hukum perdata dan harus diselesaikan di pengadilan perdata.

Namun bagaimana jika utang melibatkan tipu daya?

Dalam praktiknya, gagal bayar bisa berujung pidana jika diiringi unsur penipuan atau penggelapan. Pasal 378 KUHP menyasar tindakan penipuan, seperti menggunakan nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan untuk menggerakkan seseorang agar menyerahkan barang atau memberi utang. Sementara Pasal 372 KUHP mengatur tindak penggelapan, yang juga dapat dikenakan jika terjadi penyalahgunaan atas barang yang telah dipercayakan.

Contoh klasiknya adalah pemberian cek kosong. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1036 K/Pid/1989, disebutkan bahwa pelaku yang dari awal tahu ceknya kosong tetap memberikannya, dianggap telah melakukan penipuan karena niat jahat sudah ada sejak awal.

Advokat Edi Rosandi dari Palangka Raya menjelaskan bahwa wanprestasi dalam kontrak bisa bergeser ke ranah pidana jika disertai itikad buruk. Ia menyebutkan beberapa contoh, seperti tidak memenuhi janji, melaksanakan isi perjanjian tidak sebagaimana mestinya, atau melanggar ketentuan perjanjian secara sadar.

 

Penutup
Pada akhirnya, tidak semua kegagalan membayar utang adalah tindakan kriminal. Namun, jika sejak awal ada niat untuk menipu, hukum pidana bisa berlaku. Masyarakat perlu memahami perbedaan antara sengketa perdata dan tindak pidana agar tak salah langkah. Hukum yang tepat, ditempuh dengan cara yang bijak, akan memberi keadilan bagi semua pihak—tanpa menjebak orang dalam jeruji hanya karena gagal menepati janji. (Mth)

Tutup