JAKARTA, TABALIEN.com  – Kebijakan opsen pajak yang akan diberlakukan mulai awal 2025 diprediksi akan memberikan pukulan berat bagi industri otomotif Indonesia, khususnya sepeda motor. Menurut Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI), opsen pajak yang mencakup Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) berpotensi menaikkan harga sepeda motor hingga 7%. Hal ini dikhawatirkan menekan daya beli masyarakat dan menurunkan penjualan hingga 20%.

Ketua Bidang Komersial AISI, Sigit Kumala, mengungkapkan bahwa kenaikan harga sepeda motor akibat opsen pajak bisa mencapai Rp800 ribu hingga Rp2 juta, tergantung pada jenis motor. “Konsumen sepeda motor sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Kenaikan ini setara dua hingga tiga kali lipat inflasi, sehingga menekan permintaan, terutama di segmen entry-level dan mid-high,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (13/12/2024).

AISI mencatat penjualan sepeda motor domestik periode Januari–November 2024 tumbuh tipis sebesar 2,06%, dengan total penjualan mencapai 5,9 juta unit. Sebelumnya, AISI optimistis target penjualan tahun depan bisa mencapai 6,4–6,7 juta unit. Namun, kebijakan opsen pajak membuat proyeksi tersebut direvisi menjadi penurunan hingga 20%.

Efek Domino ke Industri Pendukung

Penurunan penjualan sepeda motor tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga menimbulkan efek domino di sektor hulu dan hilir industri. Produsen sepeda motor diperkirakan harus memangkas produksi, yang akan berimbas pada industri suku cadang dan rantai pasok. Dampaknya, risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin nyata.

Sektor hilir seperti pembiayaan, asuransi, dan layanan purnajual juga diprediksi terpukul. “Penurunan daya beli akibat kenaikan pajak akan melemahkan ekosistem industri otomotif secara keseluruhan,” kata Sigit.

Daya Saing Regional Terancam

Kebijakan opsen pajak juga berpotensi menurunkan daya saing industri otomotif Indonesia di kawasan ASEAN. Negara-negara tetangga seperti Thailand, yang merupakan salah satu pasar otomotif terbesar di kawasan, justru memberikan insentif berupa penurunan PPN dari 10% menjadi 8% hingga pertengahan 2025. Sebaliknya, Indonesia menaikkan PPN menjadi 12%, ditambah kenaikan PKB, BBNKB, dan opsen pajak.

“Jika kebijakan ini diterapkan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri otomotif Indonesia melemah. Situasi ini dapat memengaruhi iklim investasi dan memperburuk posisi Indonesia dalam persaingan ekonomi regional,” tegas Sigit.

Kekhawatiran ini menjadi sinyal bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan opsen pajak, terutama untuk menjaga keberlanjutan dan daya saing industri sepeda motor yang menjadi alat transportasi vital bagi masyarakat Indonesia. (Mth)