Kontestasi Politik Kalimantan Tengah Meremehkan Isu Lingkungan
Isu lingkungan dalam politik di Provinsi Kalimantan Tengah masih memiliki posisi minor dalam narasi visi dan misi para calon gubernur 2024-2029. Padahal, permasalahan lingkungan yang terjadi dalam 10 tahun terakhir memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi lingkungan bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal sosiologi dan ekonomi masyarakat.
Kerusakan Lingkungan Hidup
Mari kita mengingat kembali, kerusakan di bagian hulu sungai-sungai di Kalimantan Tengah semakin tahun semakin parah. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya banjir pada tahun 2019 di Kabupaten Murung Raya, Kapuas, Gunung Mas, dan Lamandau. Bahkan, dampak lainnya dapat dilihat di Palangka Raya dengan terjadinya ablasi Sungai Kahayan pada tahun 2023. Fenomena ablasi tersebut tentu erat kaitannya dengan daya tampung air di hulu sungai yang telah rusak, mengakibatkan laju arus sungai semakin kencang karena air limpasan tidak tertahan dengan baik oleh tutupan lahan.
Selain itu, konflik lahan antara masyarakat lokal dan perusahaan sawit semakin membesar akibat ruang hidup masyarakat yang semakin sempit. Kondisi ini dapat kita lihat di Kabupaten Lamandau, Kotim, Kobar, dan Seruyan sejak 2016, yang bahkan masih menyisakan duka bagi masyarakat akibat adanya korban jiwa pada tahun 2023 di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan.
Kebakaran hutan dan lahan di provinsi dengan ekosistem lahan gambut terbesar ketiga kian terdegradasi dan rusak. Kebakaran gambut yang terjadi pada tahun 2015, 2019, dan 2023 merupakan efek dari kondisi gambut yang telah kehilangan fungsinya sebagai penyimpan dan penjamin pasokan air. Daniel Thompson, seorang ilmuwan Kanada (2024), berpendapat bahwa kebakaran gambut mampu melepaskan merkuri ke atmosfer dengan potensi laju 15 kali lebih besar daripada hutan dataran tinggi, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak sebagai generasi penerus Kalimantan Tengah.
Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa apa yang terjadi di Kalimantan Tengah merupakan fenomena lingkungan hidup yang memiliki keterkaitan dengan para pemangku kebijakan. Namun, posisi keseriusan untuk menjadikannya prioritas agar diselesaikan atau diminimalisir dengan cara komprehensif masih diragukan. Sehingga hal ini melahirkan pertanyaan: apakah pada tanggal 27 November 2024 kita memilih gubernur dan wakilnya, atau justru memilih penguasa untuk menguasai (oligarki) sumber daya alam Kalimantan Tengah?
Program Strategis Para Calon
Kontestasi pemilihan calon gubernur dan wakilnya di Provinsi Kalimantan Tengah periode 2025-2030 kali ini menarik untuk diamati dan didiskusikan melalui perspektif ekologi politik dengan pijakan kajian bersifat politis. Berdasarkan identifikasi visi misi semua pasangan calon dengan merujuk pada program strategis mereka yang berkenaan dengan isu lingkungan, setidaknya ada beberapa poin narasi yang digunakan oleh para calon dan dapat dijadikan bahan pengamatan bersama.
Pertama, pasangan Willy-Habib menggunakan narasi terkait pengakuan masyarakat hukum adat, perhutanan sosial, hutan adat, ekonomi hijau, Corporate Social Responsibility (CSR), dan kemitraan serta hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kedua, pasangan Nadalsyah-Supian menggunakan narasi terkait pusat penelitian dan pengembangan (R&D), rehabilitasi hutan dan emisi karbon, kebijakan pelestarian lingkungan, pendekatan ekologi dalam pembangunan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga, pasangan Agustiar-Edy menggunakan narasi terkait pengolahan mineral dan sumber daya alam secara lokal. Keempat, pasangan Razak-Sri menggunakan narasi tenaga surya, pengendalian alih fungsi kawasan hutan, roadmap ekonomi hijau, sumber daya alam berkeadilan, dan CSR untuk masyarakat lokal.
Program strategis yang merupakan bentuk aplikasi dari para calon untuk merealisasikan misi politiknya masih belum dapat menjawab permasalahan lingkungan di Kalimantan Tengah. Kerusakan kawasan penyanggah di daerah hulu, ekspansi lahan oleh investor sawit dan tambang, kekeringan gambut, serta ruang hidup masyarakat pedesaan yang semakin sempit belum terjamah secara tegas dalam program strategis semua calon yang berkompetisi.
Dalam ekologi politik, isu lingkungan menjadi penting tidak hanya melalui perkembangan penelitian saintifik, tetapi juga melalui kondisi politik dan ekonomi yang senantiasa mengubah dan mereformasi representasi tentang alam yang telah mapan (Blaikie, 1999:132-133). Ada lima aktor yang disorot oleh Bryant dan Bailey (2001): yaitu negara (pemerintah), pengusaha, lembaga multilateral, LSM, dan aktor akar rumput (grassroots).
Masyarakat Kalimantan Tengah saat ini sedang ramai memperhatikan media sosial maupun surat kabar online tentang fenomena perdebatan antara penguasa dan pengusaha mentereng (keponakan dan paman). Tentu masyarakat bertanya-tanya, karena tidak menjadi rahasia umum bahwa pada periode pertama penguasa saat ini juga didukung oleh pengusaha yang aktif dalam industri ekstraktif dari hasil perkebunan sawit.
Asumsi publik mengkristal bahwa perdebatan tersebut memicu perbedaan dukungan atau orang yang akan mengisi kursi penguasa di Kalimantan Tengah. Perselisihan juga sangat terasa dari pernyataan para pasangan calon maupun tim dan pendukungnya saat kampanye di media atau ketika ada diskusi Ruang Gagasan yang bersitegang saling menyerang. Dalam hal demokrasi, proses politik tersebut merupakan hal yang wajar. Namun, kewajaran itu juga dapat diikuti oleh asumsi publik yang liar terkait apa yang ada di balik perebutan tampuk kekuasaan Provinsi Kalimantan Tengah.
Seperangkat program yang diharapkan lebih strategis, bahkan belum menyentuh akar permasalahan lingkungan di Kalteng. Komposisi isu lingkungan pada program strategis para calon dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Pendekatan Ekologi Politik
Murat Arsel dari International Institute of Social Studies (2009) berpendapat bahwa tidak mengejutkan jika dua inisiatif yang paling banyak dibicarakan pada era kita ini adalah pembayaran layanan ekosistem (payments for ecosystem services) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism), keduanya berangkat dari prinsip motif keuntungan. Hal ini terlihat dari program strategis yang tertulis maupun yang dijelaskan saat acara debat kandidat pertama bahwa pemikiran para calon memiliki penekanan pada konsep pariwisata dari alam Kalimantan Tengah.
Argumen R. Guha (2000) dan Martinez-Allier (2003) tentang environmentalismenya kaum miskin mengakui bahwa rakyat miskin memiliki konsep dan praktik etika lingkungan yang berbeda dengan orang kaya, karena naluri konservatif yang mereka miliki. Dengan kata lain, Murat Arsel (2009) mengartikan bahwa orang-orang di desa adalah pemerhati lingkungan karena kehidupan dan ketahanan mereka bergantung pada pengawetan, bukan hanya dari lingkungan fisik di sekitar mereka (contoh: lahan untuk pertanian), tetapi juga mata pencaharian yang berasal dari lingkungan itu (contoh: cara-cara pertanian tradisional).
Kaburnya Prioritas Lingkungan
Merujuk sudut pandang ekologi politik pada identifikasi program strategis para calon terkait permasalahan lingkungan hidup, belum ada upaya tegas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kesan terhadap investasi hijau yang dirancang masih berada pada kondisi abu-abu, yang justru menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas adalah kondisi ekonomi dan mengabaikan kondisi ekologi serta sosiologi di Kalimantan Tengah.
Dengan demikian, kontestasi politik di Kalimantan Tengah masih kabur dalam penyelesaian permasalahan lingkungan. Permasalahan lingkungan di tingkat lokal dan krisis iklim di tingkat global merupakan suatu kesatuan yang sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan rakyat. Namun, langkah konkret menuju realitas masyarakat dan kondisi lingkungan alam di Provinsi Kalimantan Tengah masih jauh panggang dari api.
Negara, dalam hal ini pemerintah (pemenang calon gubernur dan wakilnya), tentu memiliki dua fungsi sekaligus nantinya, baik sebagai aktor pengguna maupun pelindung sumber daya alam itu sendiri. Sehingga pemerintah juga sering mengalami konflik kepentingan, di mana hal ini menimbulkan perspektif bahwa posisi pemerintah terlalu kecil untuk memecahkan masalah global dan terlalu besar untuk memecahkan masalah lokal. Seperti pendapat Fahnia Chairawaty (2009) bahwa terdapat perbedaan kepentingan mendasar antara negara dan masyarakatnya, terkait kepentingan mereka terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang menyangkut kepentingan ekonomi politik serta ekologi politik.
Download:
01. Willy M Yoseph – Ismail Bin Yahya
03. Agustiar Sabran – Edy Pratowo
Editor’s Note:
- Kirim artikel dalam format .doc, .docx, atau .pdf, beserta biodata singkat (nama, alamat email, dan afiliasi) ke redaksi@tabalien.com
- Penulis bertanggung jawab sepenuhnya atas konten yang dikirimkan, termasuk keakuratan informasi dan keaslian ide.
- Pihak redaksi tidak bertanggung jawab atas klaim atau opini yang diungkapkan dalam artikel. Semua pandangan yang disampaikan merupakan tanggung jawab penulis.
- Penulis setuju untuk memberikan izin kepada penerbit untuk mempublikasikan artikel, namun tetap memegang hak cipta atas karya tersebut.

