Perda Adat Kalteng Dinilai Berbelit

Diskusi publik digelar Koalisi Penyelamatan Ruang Hidup terdiri dari AMAN Kalteng, Walhi Kalteng, Yayasan Betang Borneo Indonesia, Save Our Borneo, dan YLBHI membahas evaluasi Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, Selasa (26/8/2025).

PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kalimantan Tengah dinilai masih rumit. Meski sudah ada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak, aturan itu justru dianggap berpotensi menyulitkan masyarakat hukum adat.

Penilaian tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik Diseminasi Eksaminasi Perda yang digelar Koalisi Penyelamatan Ruang Hidup pada Selasa (26/8/2025). Koalisi ini terdiri dari AMAN Kalteng, Walhi Kalteng, Yayasan Betang Borneo Indonesia, Save Our Borneo, dan YLBHI.

Ketua Harian AMAN Kalteng, Yoga Adi Saputra, menyebut diskusi publik ini bertujuan meninjau kembali isi perda agar lebih sederhana dan sesuai kebutuhan masyarakat adat. “Proses pengakuan masyarakat hukum adat di Kalteng masih terlalu rumit. Seperti yang dialami masyarakat adat di Desa Kinipan, Lamandau, prosedurnya berlapis-lapis,” ujarnya.

Menurut Yoga, perda tersebut masih menyisakan banyak masalah, termasuk dalam aspek perlindungan hukum. Ia menyoroti perbedaan antara perda dan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara. “Dalam perda ini, hutan adat justru masih dianggap hutan negara. Ini jelas bertentangan,” tegasnya.

Koalisi sipil berharap pemerintah daerah membuka ruang revisi agar perda tidak merugikan masyarakat adat. “Kami ajukan kembali agar pemerintah meninjau perda ini supaya bisa diperbaiki,” lanjut Yoga.

Menanggapi hal itu, Marline dari Biro Hukum Setda Kalteng menyarankan agar masukan masyarakat sipil juga disampaikan ke DPRD. “Bisa diajukan dalam rapat dengar pendapat, sehingga partisipasi masyarakat lebih besar dalam pembahasan perda,” katanya.

Sejarah Singkat Koalisi Penyelamatan Ruang Hidup

Koalisi Penyelamatan Ruang Hidup lahir dari kegelisahan bersama atas maraknya perampasan wilayah adat dan kerusakan lingkungan di Kalimantan Tengah. Sejak 2018, lima organisasi masyarakat sipil—AMAN Kalteng, Walhi Kalteng, LBH Palangka Raya, Save Our Borneo, dan Yayasan Betang Borneo Indonesia—bergerak bersama mendampingi komunitas adat menghadapi konflik agraria dan kriminalisasi pejuang lingkungan.

Koalisi pertama kali dikenal luas saat mendampingi masyarakat Laman Kinipan di Lamandau yang berjuang mempertahankan hutan adat dari ekspansi perkebunan sawit. Kasus penangkapan Effendi Buhing pada 2020 hingga kriminalisasi Kepala Desa Willem Hengky menjadi titik balik penting yang menguatkan solidaritas.

Sejak itu, koalisi terus terlibat dalam berbagai advokasi, mulai dari konflik lahan di Desa Penyang, Kotawaringin Timur, hingga tragedi kematian Gijik di Seruyan pada 2023. Mereka juga mendampingi warga Kinjil di Kotawaringin Barat yang berhadapan dengan perusahaan sawit besar.

Tujuan utama koalisi ini adalah memastikan masyarakat adat memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, menghentikan praktik kriminalisasi, serta menjaga kelestarian hutan dan ekosistem Kalimantan Tengah. Dengan kekuatan kolektif, koalisi bertekad membela ruang hidup yang adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Catatan Redaksi:

Artikel ini telah melalui proses penyuntingan oleh redaksi TABALIEN.com tanpa mengubah substansi berita.

Avatar photo
Avatar photo
Roni Sahala
Reporter