Cinta di Era Modern: Sebuah Diskusi

IlustrasiKesepian

PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Lampu temaram kedai kopi itu menyorotkan bayangan samar dua sosok yang duduk berdampingan. Aroma kopi ponti yang mengepul dari cangkir keramik putih di hadapan, membelai udara malam yang dingin. Suara denting sendok yang sesekali beradu dengan bibir cangkir keramik, menjadi irama latar obrolan kami.

Dua orang itu adalah aku dan seorang kawan, terjebak dalam diskusi yang tak terduga tentang cinta dan rindu. Kursi plastik yang kami duduki, acap kali berderit pelan setiap kali salah satu dari kami bergeser, seolah ikut mendengarkan percakapan yang semakin dalam.

Dengan gestur tangan yang tenang namun penuh makna, kawan itu berbicara dengan nada seorang akademisi. Matanya yang tajam sesekali menatap jauh, seakan mencari kata-kata yang tepat dari rak-rak buku imajiner di benaknya.

“Cinta,” ujarnya, “tidak selalu harus bermuara pada pernikahan.” Kalimatnya terdengar tegas namun lembut, mencerminkan keyakinan yang terbentuk dari tahun-tahun penelitian dan kontemplasi dari masa lalunya.

Di sampingnya, aku mendengarkan dengan seksama. Matanya menerawang, menggali kenangan-kenangan yang tersimpan rapi di sudut hatinya. Ketika ia berbicara, suaranya sedikit bergetar, “Bagiku, cinta adalah…” ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, “…sebuah perjalanan yang tak selalu berakhir bahagia, namun selalu mengajarkan sesuatu.”

Waktu berlompatan. Kawanku itu, dengan argumen-argumen teoritisnya yang brilian, dan aku yang hanya bermodalkan kisah-kisah personal, bersama-sama menenun sebuah pemahaman tentang cinta dan rindu. Ya, begitulah saat pria mulai bercerita.

Kawanku dengan kalimat-kalimat yang terstruktur dengan rapi, khas seorang terdidik, kemudian berkata, “kita hidup di zaman di mana makna cinta telah disempitkan oleh modernitas.”

Jemarinya mengetuk pelan sisi cangkir kopinya. “Cinta yang seharusnya sakral, memerdekakan jiwa, kini sering terjebak dalam konstruksi sosial yang kaku.”

Aku hanya mengangguk, mencoba meresapi dan mengerti setiap kata-katanya. Mataku menerawang ke berbagai arah. “Benar,” sahutku pelan.

“Seolah-olah cinta hanya valid jika berujung pada pernikahan. Padahal, bukankah cinta itu sendiri yang seharusnya menjadi inti?” ujarnya melanjutkan.

Menurutnya, kita sering lupa bahwa jodoh, pernikahan, semua itu seharusnya menjadi bagian dari cinta, bukan sebaliknya. Cinta mendahului segalanya.

Percakapan kami mengalir, membahas paradoks cinta di era modern. Bagaimana orang-orang dengan mudahnya menggugurkan cinta atas nama ‘bukan jodoh’ atau karena tak bisa melewati rintangan sosial. Bagaimana pernikahan sering dianggap lebih penting dari esensi cinta itu sendiri.

“Lihat saja,” kawanku itu menambahkan, suaranya sedikit meninggi karena semangat. “Kita punya istilah berbeda untuk putusnya hubungan sebelum dan sesudah menikah. Seolah-olah ada tingkatan keseriusan yang berbeda.” Aku terdiam sejenak, kembali mencoba meresapi kata-katanya.

Malam semakin larut, tapi pembicaraan kami semakin dalam. Kami berbicara tentang bagaimana seharusnya cinta menjadi komitmen utama, sementara pernikahan dan hal-hal lainnya hanyalah ornamen tambahan.

Dulu aku berkesimpulan ujung dari cinta adalah pernikahan. Ternyata aku tersesat dalam dongeng-dongeng. Kini kusadari bahwa cinta dan pernikahan adalah kesatuan yang tidak satu, mereka tetap merupakan dua entitas yang berbeda.

Pada akhirnya akupun bersepakat, pernikahan bukan cinta melainkan deklarasi atas komitmen-dalam konsep teologi dan formal-atas cinta. Cinta dan rindu akan selalu abstrak. “Ia” tidak akan pernah kongkret dalam fakta dan tak akan terbelenggu waktu.

“Selamat mencinta dan merindu. Seperti kelahiran akan datang bersama kematian, cinta dan kebahagiaan juga tiba beserta sakit dan kesepian”.