PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Rintik hujan yang turun di pagi itu seolah menjadi saksi bisu perjalanan suci 30 arwah menuju Lewu Tatau. Di sebuah sudut Kota Palangka Raya, tepatnya di Jalan Sepan Raya 1, puluhan warga berkumpul menghadiri ritual Tiwah massal yang diikuti 26 keluarga, Kamis (31/10/2024).
Alunan musik tradisional membelah keheningan pagi. Para tetua adat dengan pakaian khas Dayak yang megah berdiri tegap, mandau tergenggam di tangan. Derai hujan tak menyurutkan semangat para pelayat yang datang untuk menyaksikan upacara sakral ini.
“Tiwah bukan sekadar ritual biasa,” ujar Fransiskus Widodo, salah satu Basir Untung yang memimpin upacara, sembari memandang ke arah Sandung yang telah disiapkan. “Ini adalah jembatan penghubung antara dunia nyata dan alam roh.”
Di sekelilingnya, asap dupa mengepul membumbung ke udara. Para keluarga duduk khidmat, menyaksikan prosesi pemindahan tulang-belulang leluhur mereka ke Sandung – rumah terakhir yang akan menjadi tempat peristirahatan abadi.
Mompong Ailas, salah satu peserta Tiwah, berbagi harapannya dengan mata berkaca-kaca. “Kami berharap ritual ini berjalan damai hingga usai. Para leluhur kami akan tenang dalam perjalanan mereka menuju Yang Maha Kuasa,” ucapnya lirih.
Persiapan ritual ini tak sederhana. Berbulan-bulan dihabiskan untuk menentukan hari baik, menyiapkan persembahan, dan mengkoordinasikan 26 keluarga yang terlibat. Hewan kurban berupa babi dan kerbau telah disiapkan sebagai persembahan suci.
Di tengah derasnya arus modernisasi, Tiwah hadir sebagai pengingat akan kekayaan tradisi leluhur. Para pemuda yang hadir tak hanya menjadi penonton, tetapi juga pewaris estafet budaya yang harus dijaga. Ritual ini menjadi bukti bahwa di tengah kemajuan zaman, akar budaya tetap kokoh tertanam.
Saat matahari mulai meninggi, hujan perlahan reda. Namun semangat para peserta tak surut. Tiwah massal ini bukan hanya tentang mengantar arwah, tetapi juga tentang merajut benang-benang kebersamaan dalam tapestri budaya yang indah.
Dari sudut Palangka Raya ini, Indonesia sekali lagi membuktikan dirinya sebagai negeri yang kaya akan khazanah budaya. Tiwah bukan sekadar ritual kematian – ia adalah celebration of life, perayaan kehidupan yang mengalir dari generasi ke generasi, seperti air Sungai Kahayan yang tak pernah berhenti mengalir.
