Muara Mea, Jantung Terakhir Hutan

Pegunungan Muller-Schwener. FOTO: Roni Sahala Marpaung

Kisah perjalanan dan penelusuran jiwa di Desa Muara Mea, di mana hutan, sungai, dan tradisi adat berjuang untuk tetap hidup.

Bagian I
Perjalanan Menuju Pertanyaan

Sabtu pagi di Palangka Raya. Matahari belum sepenuhnya menguasai langit ketika sebuah mobil melaju dari halaman Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jalan Beliang. Di dalamnya, kami berempat—Mahtia Safitri, Wena Helda, Yumero, dan saya sendiri—duduk dalam diam yang berisi. Tujuan kami adalah Desa Muara Mea, sebuah titik kecil di punggung Kalimantan Tengah yang jarang muncul di peta, nyaris seperti bisikan.

Nama Muara Mea mungkin terdengar samar, bahkan bagi sebagian besar warga Kalimantan sendiri. Tapi bagi yang tinggal di sana, ia adalah pusat semesta. Dan bagi kami yang akan datang berkunjung, ia adalah dunia yang dijanjikan akan mengubah cara pandang tentang tanah, air, dan manusia.

Pak sopir memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang sudah lelah dilalui waktu. Beberapa kali saya terbangun karena mobil menghantam lubang aspal. Sisa perjalanan saya habiskan dalam setengah sadar—tidak tahu percakapan apa yang mengalir di antara rekan-rekan saya dan sopir, hanya sesekali terdengar tawa, lalu saya tenggelam lagi dalam kantuk.

Sekitar sembilan jam kemudian, kami tiba di Rumah Pengurus Daerah AMAN Barito Utara. Rasyid, staf Infokom yang sudah menunggu sejak sore, menyambut kami dengan senyum hangat. Kami mandi, makan malam, dan langsung beristirahat. Perjalanan kami baru saja dimulai.

Pagi berikutnya datang dengan perlahan. Saya dan Yumero baru tidur menjelang subuh, sementara Mahtia dan Wena sudah lebih dulu terjaga. Di luar, Muara Teweh mulai hidup. Kami bersiap menyambut etape selanjutnya menuju Lampeong—perjalanan darat yang katanya bisa ditempuh dalam waktu empat jam. Tapi di Kalimantan, waktu seringkali punya ukuran sendiri.

Perjalanan menuju Lampeong ternyata lebih dari sekadar perpindahan tempat. Jalanan berkelok dan menanjak, menyusuri kontur bukit-bukit yang masih hijau. Kadang pemandangan berubah drastis: barisan sawit menjulang monoton, memecah harmoni hutan. Tapi tak cukup untuk menghilangkan kekaguman kami pada lanskap alam Muller-Schwener yang agung dan sunyi.

Selama perjalanan, saya memilih diam. Memandangi setiap lekuk bumi yang terasa begitu tua, begitu sabar. Angin masuk perlahan lewat jendela yang terbuka sedikit. Suara mesin berpadu dengan deru sunyi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Kami berhenti sejenak di Benangin, kota kecil yang menjadi pusat Kecamatan Teweh Timur. Di warung kayu sederhana, kami menyeruput kopi panas dan merokok pelan. Di sana saya berbincang singkat dengan Imansyah, seorang pemuda 25 tahun yang lahir dan besar di tempat itu. Tidak ada topik berat—hanya cerita tentang hujan yang tak menentu dan pekerjaan harian. Tapi dari cara bicaranya, saya bisa merasakan kedalaman yang tak diucapkan. Percakapan semacam itu, justru yang membuat perjalanan terasa lebih manusiawi.

Mobil kami kemudian menanjak, melewati jalan curam yang disebut warga sebagai “bukit tujuh tingkat”. Nama itu bukan metafora. Tikungan demi tikungan mendaki membawa kami ke puncak tempat lanskap Kalimantan terbuka begitu luasnya: hamparan bukit dan lembah seakan tak berujung, diselimuti hijau lebat yang tak terganggu.

Kami semua terdiam. Bahkan Yumero, yang biasanya penuh cerita, tak berkata apa-apa. Kami hanya memandang, mendengarkan hutan yang sedang bicara dengan caranya sendiri. Saat itu saya sadar, kadang keheningan adalah satu-satunya cara untuk benar-benar mendengarkan alam.

Tak sampai dua jam kemudian, kami sampai di Desa Lampeong. Di bengkel milik Pak Mamanto, kami meminjam dua sepeda motor untuk menempuh rute terakhir menuju Muara Mea. Tapi tidak semuanya berjalan mulus. Saya dan Yumero kebagian motor modifan yang sudah tua, tanpa rem depan. Kami hanya bisa tertawa kecut—tidak ada pilihan lain selain tetap melaju.

Dengan motor itu, kami menerobos rintik hujan yang perlahan turun. Jalan beton licin, sempit, dan tikungan tajam menjadi bagian dari ujian. Sekitar dua puluh menit kemudian, kami tiba di rumah Pak Mantung—warga yang kemudian menjadi titik awal pertemuan kami dengan Muara Mea.

Sambutan di rumah Pak Mantung begitu hangat. Rumah kayu sederhana itu seketika berubah menjadi ruang cerita dan perkenalan. Kami menyampaikan maksud kedatangan kami, bahwa kami ingin belajar tentang perladangan, kehidupan, dan cara masyarakat menjaga tanah mereka.

Dalam perbincangan yang berlangsung lama dan hangat, Pak Mantung tiba-tiba melontarkan satu kalimat yang menggugah:
“Banyak orang yang datang dan hendak mengenal kami, tapi tak kami tahu mana kongkritnya.”

Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti tamparan halus. Ia tidak sedang mencurigai, hanya jujur. Bahwa sudah terlalu sering orang datang—dengan niat baik, dengan kamera, dengan buku catatan—namun pergi tanpa jejak. Mereka hadir, tapi tidak pernah sungguh-sungguh tinggal. Tidak menyatu. Tidak kongkret.

Bagi saya, kalimat itu bukan sekadar sindiran. Ia adalah pertanyaan tentang komitmen, tentang ketulusan, dan tentang bagaimana kita selama ini memperlakukan komunitas yang kita sebut “lokal”—seolah mereka hanya latar dari proyek yang kita bawa.

Muara Mea bukan tempat yang mudah dijangkau. Tapi barangkali justru karena itu, ia menyimpan cara hidup yang tak mudah ditakar oleh logika dunia yang serba cepat. Di desa ini, tanah bukan sekadar benda, tapi tubuh hidup yang harus dijaga. Air bukan komoditas, tapi warisan. Hutan bukan cadangan ekonomi, tapi rumah yang bernapas.

Perjalanan ini belum selesai. Tapi dari perjalanan ini, saya belajar bahwa hadir saja tak pernah cukup. Datanglah dengan niat, tinggallah dengan hormat, dan pulanglah dengan tanggung jawab. Atau, seperti yang dikatakan Pak Mantung—pastikan ada “kongkrotnya”.

Tutup