Masyarakat Adat Kalteng Menanti Pengakuan Hukum Melalui Perda

Masyarakat Adat Laman Kinipan di Hutan Adat yang telah dibuka untuk kebun sawit oleh korporasi.

PALANGKARAYA, TABALIEN.COM – Masyarakat adat di Kalimantan Tengah masih menunggu pengakuan resmi melalui peraturan daerah (Perda), meskipun keberadaan mereka telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus, Koalisi NGO Kalimantan Tengah, yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Save Our Borneo (SOB), Walhi Kalteng, dan LBH Palangkaraya, menyuarakan tuntutan pengakuan hukum bagi masyarakat adat.

Ketua AMAN Kalteng, Ferdi Kurnianto, menyatakan, “Pengakuan ini belum maksimal. Di Kalteng, Perda Provinsi mengenai masyarakat hukum adat belum diterbitkan.”

Konflik antara masyarakat adat dan aparat masih kerap terjadi. Kasus terbaru di Desa Bangkal, Seruyan, mengakibatkan seorang demonstran tewas terkena tembakan.

Sandi dari LBH Palangkaraya melaporkan bahwa masyarakat adat sering menjadi korban kriminalisasi saat mempertahankan hak mereka. “Rancangan Undang-Undang tentang masyarakat hukum adat masih belum menunjukkan kemajuan signifikan di DPR,” ujarnya.

Herlianto dari Save Our Borneo menegaskan efektivitas pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dibandingkan pihak lain, meskipun sering terhambat aturan yang belum memadai.

Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, menambahkan, “Akibat penguasaan hutan adat tidak diakui secara resmi, industri pertambangan dan perkebunan sering merusak kawasan yang telah dikelola masyarakat adat, menyebabkan bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran yang semakin sering terjadi.”

Pengakuan hukum melalui Perda dianggap krusial untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menjaga keberlanjutan lingkungan di Kalimantan Tengah.

Tutup