PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Di tengah ancaman krisis iklim global yang semakin nyata, perempuan adat memainkan peran vital namun seringkali terlupakan. Realitas ini terungkap dalam Seminar Nasional “Perempuan Adat, Krisis Iklim, dan Ketahanan Pangan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI) bersama Universitas Palangka Raya, Selasa (24/10/2024).

“Perempuan adat adalah garda terdepan dalam menjaga keseimbangan alam dan ketahanan pangan keluarga. Namun ironisnya, suara mereka jarang didengar dalam pengambilan kebijakan,” ungkap Dr. Sari Marlina, S.Hut., M.Si, peneliti ekofeminisme dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.

Dalam paparannya, Sari mengungkapkan bagaimana perempuan adat Dayak telah mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Praktik-praktik tradisional seperti pergiliran tanaman dan pelestarian benih lokal terbukti efektif dalam menjaga ketahanan pangan komunitas.

Louise Theresia, S.H., L.LM, yang melakukan penelitian di Desa Simpur dan Desa Pilang, menguatkan temuan tersebut.

“Di dua desa ini, perempuan adat masih memegang pengetahuan vital tentang tanaman obat dan pangan lokal. Sayangnya, berbagai tekanan eksternal seperti alih fungsi lahan dan perubahan iklim mengancam keberlanjutan praktik ini,” jelasnya.

Tekanan terhadap perempuan adat semakin kompleks dengan adanya kekerasan berbasis gender. Perwakilan Kemitraan dalam paparannya mengungkapkan temuan mengejutkan tentang tingginya angka kekerasan seksual yang dialami perempuan adat, terutama dalam konflik sumber daya alam.

“Perempuan adat menghadapi beban ganda. Di satu sisi mereka harus menjaga ketahanan pangan keluarga di tengah krisis iklim, di sisi lain harus menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi,” tegas Yael Stefani Sinaga, Communication Officer Kemitraan.

Beny, S.H., M.AP dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pulang Pisau menyoroti perlunya dukungan konkret dari pemerintah.

“Kami sedang mengembangkan program pemberdayaan yang berfokus pada penguatan kapasitas perempuan adat dalam pengelolaan pangan lokal,” jelasnya.

Seminar yang dihadiri lebih dari 200 peserta ini tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga ajang berbagi pengalaman langsung dari perempuan adat. Mereka membagikan kisah perjuangan sehari-hari dalam menjaga tradisi di tengah berbagai tantangan modern.

“Kami berharap seminar ini bisa menjadi titik awal untuk perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada perempuan adat,” ujar Dr. Natalina Asi, M.A., Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Palangka Raya saat menutup acara.

Program yang didukung KEMITRAAN-Partnership ini merupakan bagian dari inisiatif Estungkara yang bertujuan mewujudkan pemerintahan inklusif bagi masyarakat adat, khususnya perempuan.

Melalui Panggung Ekspresi dan pameran yang digelar bersamaan dengan seminar, generasi muda diajak untuk lebih memahami dan mengapresiasi peran vital perempuan adat dalam menjaga keseimbangan alam dan ketahanan pangan komunitas.

Rangkaian kegiatan itu sesuai dengan maknanya, estungkara, yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, dengan memiliki arti yaitu “kesadaran”.