[dropcap]D[/dropcap]i bawah terik matahari yang membakar, Sesilia Maharani Putri berdiri di tepi lahan gambut yang menghitam. Matanya menyipit, berusaha menembus kabut asap tipis yang masih mengambang di udara. Sebagai peneliti di Yayasan Auriga Nusantara, dia telah menghabiskan berbulan-bulan meneliti pola kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Apa yang dia temukan sungguh mengejutkan.
“Enam koma satu juta hektar,” gumamnya, seolah masih tak percaya dengan angka tersebut. “Itu luas lahan yang terbakar selama satu dekade terakhir. Dan lebih dari setengahnya terjadi di Kalimantan dan Sumatera.”
Sementara itu, di sebuah ruang kantor di Jakarta, Safrul Yunardy dari Dinas Kehutanan Sumatera Selatan mengangguk pelan saat melihat data yang terpampang di layar komputernya.
“Ini bukan hanya tentang angka,” ujarnya sambil menghela napas. “Di balik setiap hektar yang terbakar, ada cerita tentang kehidupan yang berubah, tentang kemiskinan yang semakin dalam.”
Jauh di utara, di lahan gambut Kalimantan, seorang petani bernama Pak Amin memandang jauh ke arah kebunnya yang hangus. “Dulu di sini hijau,” katanya dengan suara bergetar. “Sekarang? Lihat sendiri. Hitam. Mati.” Pak Amin adalah salah satu dari ribuan wajah di balik statistik yang mencengangkan itu.
Kembali ke Jakarta, di sebuah forum diskusi, Abdul Muhari dari BNPB mengerutkan dahi saat memaparkan temuannya. “Tahun 2023 adalah anomali,” ujarnya. “Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana terbanyak, mengalahkan banjir dan longsor. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.”
Sementara para ahli berdebat tentang angka dan pola, di lapangan, tim pemadam kebakaran terus berjuang. Mereka adalah garis depan dalam pertempuran melawan api yang seolah tak berkesudahan. Wajah-wajah lelah mereka menceritakan kisah tentang perjuangan yang sering kali terlupakan.
Di tengah semua ini, Bambang Hero Saharjo, seorang guru besar dari IPB University, mengingatkan dengan suara yang tenang namun tegas, “Kita harus melakukan pencegahan dengan serius. Ini bukan lagi tentang mengatasi, tapi tentang mencegah sebelum terlambat.”
Saat matahari terbenam di horizon Indonesia, mewarnai langit dengan semburat merah, pertanyaan yang menggantung di udara tetap sama: Akankah kita belajar dari masa lalu, atau apakah sejarah akan terus berulang, membakar masa depan kita bersama asap yang membumbung tinggi ke langit?
